Minggu, 12 November 2023

Teka-Teki AI: Antara Kekhawatiran dan Peluang Masa Depan!

Teka-Teki AI: Antara Kekhawatiran dan Peluang Masa Depan! 2020 merupakan titik tolak transisi era industri 4.0 menuju 5.0 yang ditandai de... thumbnail 1 summary

Teka-Teki AI: Antara Kekhawatiran dan Peluang Masa Depan!

2020 merupakan titik tolak transisi era industri 4.0 menuju 5.0 yang ditandai dengan awal mulanya AI yang mulai digunakan secara umum oleh masyarakat, dan puncaknya, pasca pandemi Covid-19 AI sudah mulai bersaing dengan manusia. Sebagaimana sebuah perubahan pada umumnya, pro-kontra mengenai AI pun tidak bisa dihindarkan. Bahan bakar utama perdebatan yang sering dijumpai tidak lain ialah “AI mematikan pekerjaan manusia” dan yang terekstrem “AI akan menggantikan posisi manusia”.

Mari kita bahas satu per satu.

Untuk menjawab ketakutan yang pertama jika “AI mematikan pekerjaan manusia”, dalam istilah ilmiahnya, fenomena ini dikenal dengan Distrupsi. Distrupsi merupakan fenomena ketika ojek pangkalan “dimatikan” oleh Ojek online, toko-toko “dimatikan” oleh e-commerce, bahkan jauh sebelumnya, distrupsi juga adalah ketika mesin ketik “dimatikan” oleh Microsoft. Yah, memang Distrupsi telah ada semenjak dulu, dan ini merupakan hal yang mau tidak mau pasti akan terjadi karena fitrah dasar manusia yang ingin perubahan menuju sesuatu yang instan.

Balik lagi ke fenomena AI saat ini, Exactitude Consultancy memprediksi Pasar AI global akan tumbuh sebesar CAGR 35% dari tahun 2023 hingga 2028. Maka, melawan atau bahkan menghentikan perkembangan teknologi merupakan hal yang sia-sia, dan sebaik-baiknya langkah adalah beradaptasi dengan sebaik-baiknya. Pertanyaannya: bagaimana cara beradaptasi dengan AI? Pertanyaan yang sama diajukan kepada kita: bagaimana cara kita beradaptasi dari handphone ke smartphone? Maka jawabannya: “memanfaatkannya”. Mungkin terdengar klise, apa lagi jika disandingkan dengan contoh: Gojek, Shopee, atau Microsoft. Tapi bagaimana jika dengan contoh seorang ibu-ibu berusia 50 tahun di pedesaan, dan ia merupakan lulusan SD, sekarang menerima pesanan kue melalui Whatsapp yang sebelumnya dipasarkan melalui Facebook dan Instagram. Canggih, kan?!

Maka kata kunci pentingnya ialah “beradaptasi pada manfaat”. Selesai!

Lalu jika ketakutan merambat hingga ke “AI akan menggantikan posisi manusia”. Mungkin mereka berasumsi seperti Bot pada game Catur yang awalnya bodoh, namun karena sering melawan para juara dunia catur, Bot akan merekam setiap kekalahannya untuk kemudian dijadikan sebagai langkah kemenangan ia berikutnya. Salah?

Tidak.

Tapi juga harus diingat, Bot Catur sama halnya dengan AI yang juga diprogram berdasarkan logika, dan lebih seringnya diprogram dengan logika IF. Jika ditarik dari pengertian dasarnya, logika merupakan berpikir lurus, bukan berpikir benar. Berpikir lurus artinya berpikir berdasarkan pedoman yang ditentukan, seperti:

Jika A sama dengan B,

dan B sama dengan C,

maka A sama dengan C.

Dengan rumus dasar tersebut, coba kita buat contoh kasusnya:

Jika semua unggas bisa terbang (premis 1),

dan Pinguin adalah unggas (premis 2),

maka simpulannya PINGUIN BISA TERBANG (konklusi).

Berdasarkan pedoman logika, pernyataan tersebut sudah tepat tapi tidak benar. Kenapa? karena hasil yang didapat salah. Contoh tersebut merupakan contoh dari berpikir 'lurus' namun 'salah'.

Lalu apa yang membuatnya salah?

Sederhananya, logika dibangun di atas premis-premis yang didapat. Jika premis yang didapat salah, maka konklusi yang dihasilkan juga akan salah. Maka, untuk mendapatkan logika yang sempurna, diperlukan sebuah premis awal yang benar terlebih dahulu.

Balik lagi kepada AI, AI diprogram dengan menerima setiap “premis”, dan sumber awal “premis” tidak lain adalah manusia. Jadi, secanggih apapun AI, ia tetap memerlukan informasi awal dari manusia agar ia tetap bisa dikatakan “Cerdas” atau setidaknya “Waras”.

Sama halnya manusia menyediakan warna kuning, merah, dan biru, lalu AI meng-generate-nya menjadi hijau, ungu, jingga, hingga cokelat. Demikian juga yang dilakukan AI dalam mengubah teks menjadi gambar, pasti ada beberapa gambar yang sebelumnya sudah dibuat oleh manusia. Atau juga bagaimana AI yang mengubah teks menjadi audio atau video, pasti ada beberapa suara atau video yang sebelumnya sudah dibuat manusia. Maka dengan demikian, AI tidak akan pernah menggantikan posisi manusia sebagai Brainware.

Brainware selalu dibutuhkan untuk mengembangkan AI karena brainware-lah yang memiliki kreativitas, intuisi, dan kemampuan untuk memahami dan menanggapi emosi. Kemampuan-kemampuan ini dibutuhkan untuk membuat AI menjadi lebih cerdas dan meningkatkan kebermanfaatannya, yang tidak lain adalah mempermudah kehidupan manusia.

Kesimpulannya, dalam dunia yang terus berkembang saat ini, keberadaan Artificial Intelligence mau tidak mau telah membuka pintu menuju era baru inovasi dan perubahan. Meskipun pada titik awalnya, banyak kekhawatiran muncul, dari potensi kehilangan pekerjaan hingga ancaman bahwa AI akan menggantikan peran manusia sepenuhnya, namun, seiring berjalannya waktu, kita menyadari bahwa adaptasi terhadap teknologi ini adalah kunci untuk mengoptimalkan manfaatnya, seperti kita melewati fase revolusi industri 1.0 hingga 4.0. Dengan merangkul perubahan dan menjadikan AI sebagai sekutu, kita dapat membimbing teknologi ini menuju pemberdayaan manusia. Dengan memastikan penggunaan AI berlandaskan etika, privasi, dan kesetaraan. Manusia sebagai brainware tetap menjadi penuntun dan pengarah, membawa kecerdasan buatan untuk memudahkan kehidupan manusia secara keseluruhan.

===================================================


Note: Gambar ilustrasi dibuat oleh AI

 


Tidak ada komentar

Posting Komentar

Nama :
Usia :
Pekerjaan :
Lokasi :
Komentar :