Teka-Teki AI:
Antara Kekhawatiran dan Peluang Masa Depan!
2020
merupakan titik tolak transisi era industri 4.0 menuju 5.0 yang ditandai dengan
awal mulanya AI yang mulai digunakan secara umum oleh masyarakat, dan
puncaknya, pasca pandemi Covid-19 AI sudah mulai bersaing dengan manusia.
Sebagaimana sebuah perubahan pada umumnya, pro-kontra mengenai AI pun tidak
bisa dihindarkan. Bahan bakar utama perdebatan yang sering dijumpai tidak lain
ialah “AI mematikan pekerjaan manusia” dan yang terekstrem “AI akan
menggantikan posisi manusia”.
Mari kita
bahas satu per satu.
Untuk
menjawab ketakutan yang pertama jika “AI mematikan pekerjaan manusia”, dalam
istilah ilmiahnya, fenomena ini dikenal dengan Distrupsi. Distrupsi merupakan
fenomena ketika ojek pangkalan “dimatikan” oleh Ojek online, toko-toko
“dimatikan” oleh e-commerce, bahkan jauh sebelumnya, distrupsi juga
adalah ketika mesin ketik “dimatikan” oleh Microsoft. Yah, memang Distrupsi
telah ada semenjak dulu, dan ini merupakan hal yang mau tidak mau pasti akan
terjadi karena fitrah dasar manusia yang ingin perubahan menuju sesuatu yang
instan.
Balik lagi
ke fenomena AI saat ini, Exactitude Consultancy memprediksi Pasar AI
global akan tumbuh sebesar CAGR 35% dari tahun 2023 hingga 2028.
Maka, melawan atau bahkan menghentikan perkembangan teknologi merupakan hal
yang sia-sia, dan sebaik-baiknya langkah adalah beradaptasi dengan
sebaik-baiknya. Pertanyaannya: bagaimana cara beradaptasi dengan AI? Pertanyaan
yang sama diajukan kepada kita: bagaimana cara kita beradaptasi dari handphone
ke smartphone? Maka jawabannya: “memanfaatkannya”. Mungkin terdengar klise, apa
lagi jika disandingkan dengan contoh: Gojek, Shopee, atau Microsoft. Tapi
bagaimana jika dengan contoh seorang ibu-ibu berusia 50 tahun di pedesaan, dan
ia merupakan lulusan SD, sekarang menerima pesanan kue melalui Whatsapp yang
sebelumnya dipasarkan melalui Facebook dan Instagram. Canggih, kan?!
Maka kata
kunci pentingnya ialah “beradaptasi pada manfaat”. Selesai!
Lalu jika
ketakutan merambat hingga ke “AI akan menggantikan posisi manusia”. Mungkin
mereka berasumsi seperti Bot pada game Catur yang awalnya bodoh, namun
karena sering melawan para juara dunia catur, Bot akan merekam setiap
kekalahannya untuk kemudian dijadikan sebagai langkah kemenangan ia berikutnya.
Salah?
Tidak.
Tapi juga
harus diingat, Bot Catur sama halnya dengan AI yang juga diprogram
berdasarkan logika, dan lebih seringnya diprogram dengan logika IF. Jika
ditarik dari pengertian dasarnya, logika merupakan berpikir lurus, bukan
berpikir benar. Berpikir lurus artinya berpikir berdasarkan pedoman yang
ditentukan, seperti:
Jika A
sama dengan B,
dan B
sama dengan C,
maka A
sama dengan C.
Dengan
rumus dasar tersebut, coba kita buat contoh kasusnya:
Jika
semua unggas bisa terbang (premis 1),
dan
Pinguin adalah unggas (premis 2),
maka
simpulannya PINGUIN BISA TERBANG (konklusi).
Berdasarkan
pedoman logika, pernyataan tersebut sudah tepat tapi tidak benar. Kenapa?
karena hasil yang didapat salah. Contoh tersebut merupakan contoh dari berpikir
'lurus' namun 'salah'.
Lalu apa
yang membuatnya salah?
Sederhananya,
logika dibangun di atas premis-premis yang didapat. Jika premis yang didapat
salah, maka konklusi yang dihasilkan juga akan salah. Maka, untuk mendapatkan
logika yang sempurna, diperlukan sebuah premis awal yang benar terlebih dahulu.
Balik lagi
kepada AI, AI diprogram dengan menerima setiap “premis”, dan sumber awal
“premis” tidak lain adalah manusia. Jadi, secanggih apapun AI, ia tetap memerlukan
informasi awal dari manusia agar ia tetap bisa dikatakan “Cerdas” atau
setidaknya “Waras”.
Sama halnya
manusia menyediakan warna kuning, merah, dan biru, lalu AI meng-generate-nya
menjadi hijau, ungu, jingga, hingga cokelat. Demikian juga yang dilakukan AI
dalam mengubah teks menjadi gambar, pasti ada beberapa gambar yang sebelumnya
sudah dibuat oleh manusia. Atau juga bagaimana AI yang mengubah teks menjadi
audio atau video, pasti ada beberapa suara atau video yang sebelumnya sudah
dibuat manusia. Maka dengan demikian, AI tidak akan pernah menggantikan posisi
manusia sebagai Brainware.
Brainware
selalu dibutuhkan untuk mengembangkan AI karena brainware-lah yang
memiliki kreativitas, intuisi, dan kemampuan untuk memahami dan menanggapi
emosi. Kemampuan-kemampuan ini dibutuhkan untuk membuat AI menjadi lebih cerdas
dan meningkatkan kebermanfaatannya, yang tidak lain adalah mempermudah
kehidupan manusia.
Kesimpulannya,
dalam dunia yang terus berkembang saat ini, keberadaan Artificial
Intelligence mau tidak mau telah membuka pintu menuju era baru inovasi dan
perubahan. Meskipun pada titik awalnya, banyak kekhawatiran muncul, dari
potensi kehilangan pekerjaan hingga ancaman bahwa AI akan menggantikan peran
manusia sepenuhnya, namun, seiring berjalannya waktu, kita menyadari bahwa
adaptasi terhadap teknologi ini adalah kunci untuk mengoptimalkan manfaatnya,
seperti kita melewati fase revolusi industri 1.0 hingga 4.0. Dengan merangkul perubahan
dan menjadikan AI sebagai sekutu, kita dapat membimbing teknologi ini menuju
pemberdayaan manusia. Dengan memastikan penggunaan AI berlandaskan etika,
privasi, dan kesetaraan. Manusia sebagai brainware tetap menjadi
penuntun dan pengarah, membawa kecerdasan buatan untuk memudahkan kehidupan
manusia secara keseluruhan.
===================================================
Note:
Gambar ilustrasi dibuat oleh AI
Tidak ada komentar
Posting Komentar
Nama :
Usia :
Pekerjaan :
Lokasi :
Komentar :