Pilpres
2024 darurat kepercayaan: Berpotensi banyak memunculkan tindakan golput; memilih
untuk tidak memilih.
Kenapa?
Karena orang golput terlahir dari para pemilih yang terkhianati.
.
.
Saya
berkata, “begitu nyata kita melihat redupnya etika politik, dan terlalu jelas kita
mencium adanya kepentingan politik.”
Mereka
menjawab, “tak ada yang abadi dalam politik; lawan dapat jadi kawan, kawan
dapat jadi lawan.”
.
Ok
Fine.
.
.
Mari
kita bahas.
Sebelumnya
mari kita mulai pembahasan mengenai partisipasi pemilih baru, yang notabene
adalah milenial, pada pilpres tahun ini; 2019. Hal ini menarik dikaji karena
sepanjang sepak terjang pemilihan presiden pasca reformasi, baru di tahun ini dikotomi
antara masing-masing pasangan calon begitu terbelah. Fakta yang tidak dapat
dipungkiri adalah adanya tindak kampanye negatif dari masing-masing pendukung,
yang kemudian berlanjut menjadi pertikaian, baik pada dunia nyata ataupun dunia
maya. Secara sederhana kita bisa berasumsi jika peran media sosial juga menjadi
faktor adanya pertikaian yang berkepanjangan. Di sisi lain, para elite politik
juga terus memunculkan narasi-narasi yang ‘menyerang’ paslon satu dengan
lainnya, yang secara singkat akhirnya menanam stigma di masing-masing pendukung
jika kemenangan pada kompetisi pilpres adalah segalanya, bak perang atau
penentu hidup-mati Negara.
Penguatan
asumsi tersebut dapat dilihat dari adanya peristiwa aksi kampanye yang memadati
jalanan berkali-kali, konflik horizontal yang tak jarang memunculkan tindak
diskriminasi atau ancamanan, dan terakhir adalah pertumpahan darah yang terjadi
di depan Bawaslu untuk mengguggat putusan KPU yang berakhir dengan adanya
korban meninggal (6 orang) dan luka-luka (kurang lebih 200 orang).
Namun,
belum genap satu bulan pasca putusan MK yang menetapkan Jokowi sebagai presiden
(27/06/2019), muncul satu ‘fenomena unik’ yaitu adanya pertemuan antara kedua
kandidat Presiden tersebut di MRT (13/06/2019). Padhal masih terngiang di
telinga kita bagaimana dulu pada masa kampanye Prabowo dinarasikan oleh kubu
Jokowi sebagai pelanggar HAM berat, berdarah Orde Baru, dekat dengan organisasi
radikal, dan dipastikan berbahaya jika memimpin Indonesia. Bahkan Jokowi pernah
mengatakan secara implisit jika Prabowo bermental pesimis karena sering mengatakan
Indonesia akan bubar, dan juga Jokowi pernah mengatakan jika Prabowo adalah penguasa
tanah Negara. Begitupun pada kubu Prabowo yang dulu menarasikan jika Jokowi merupakan
antek Cina atau PKI, tidak pro-Islam, pemimpin yang planga-plongo, kubunya disebut ‘partai setan’, juga dinilai otoriter
dalam setiap kebijakan yang dibuat. Bahkan Prabowo pernah mengatakan secara
implisit jika kabinet Jokowi (periode pertama) ‘tukang ngutang’, dan juga hasil
KPU atas kemenangan Jokowi adalah curang. Lalu kemudian, lucunya, Prabowo menjabat
sebagai Menteri Pertahanan mengantongi anggaran paling besar mencapai Rp 131,2
triliun. Seakan tak pernah terjadi apa-apa, keduanya secara kompak mencoba
untuk berkelompok. Tak hanya Prabowo, seluruh partai pendukungnya (kecuali PKS)
juga ikut merapatkan barisan ke koalisi Jokowi. Waw!
Jika pada ujung-ujungnya potong roti, kenapa di
awal harus
membelah masyarakat?
.
.
Padangan
Kembali
pada paragraf awal, milenial merupakan merupakan generasi yang pada dasarnya tidak
terlalu tertarik dengan politik, dan di lain sisi, banyak juga milenial yang
memilih golput dengan alasan idealis tertentu.
Dengan
banyaknya fakta politik yang di luar harapan seperti saat ini, sepertinya akan
berdampak dengan semakin yakinnya mereka memilih untuk tetap acuh dan golput.
Bayangkan
jika nanti, pada pilpres tahun 2024, mereka yang sekarang ‘satu atap’ kembali
terpecah dan kembali mengajak masyarakat untuk berkubu. Kembali membuat narasi bla… bla… bla… dengan harapan masyarakat
dapat berpihak.
Bayangkan
ketika sesama koaliasi kemudian pecah karena berebut tokoh untuk diusungkan
menjadi Capres. Bayangkan ketika partai yang pertama kali berpindah haluan
tidak mendapat jatah kabinet, lalu kemudian menyindir partai yang justru dulu
ia khianati, yang notabene partai itu malah mendapat jatah kabinet. Bayangkan
ketika dua partai yang sebelumnya saling tuding melakukan kecurangan, justru
kini berjabat tangan.
Yah,
begitu faktanya.
Menurut
Kepala Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, Prof. Dr. Sudjito, demokrasi yang saat
ini dibangun dalam dunia perpolitikan adalah demokrasi yang bebas nilai yang
menyebabkan perilaku politisi dan pejabat Negara jauh dari etika politik. Makna
dan esensi demokrasi direduksi sebagai merebut kekuasaan. Kedaulatan tidak lagi
di tangan rakyat tetapi di tangan penguasa dan lembaga politik. Lembaga politik
seperti partai politik bukan lagi merepresentasikan kepentingan rakyat tetapi
merepresentasikan kepentingan partai dan elite partai, yang terjadi elite
partai melanggengkan kekuasaan dengan menggunakan segala cara.
Etika
politik merupakan prinsip moral dalam setiap tindakan atau perilaku dalam
berpolitik. Etika politik tidak mungkin didapat beriringan dengan adanya
kepentingan politik, yang mana keduanya memiliki kutub yang saling berlawanan.
Mengacu
pada muatan etika yang memilah antara baik-buruk, maka pada setiap golongan
tidak dapat dihindarkan dengan adanya perbedaan dalam memandang sesuatu
persoalan. Hal ini dikarenakan perspektif seseorang dipengaruhi oleh Ideologi
yang dianutnya. Sebagaimana halnya dalam kanca perpolitikan, setiap partai memiliki
Ideologi sendiri-sendiri yang mana juga akan mencipta perbedaan dalam
menentukan sikap satu dengan lainnya. Ketidakpastian dalam menentukan sikap
secara sederhana dapat dinilai jika golongan tersebut tidak memiliki dasar Ideologi
yang kuat.
Pentingnya
setiap partai memiliki etika politik, dikarenakan agar dalam setiap tindakan dan/atau
perilakunya selalu berdasarkan Ideologinya masing-masing. Hal ini yang secara
sendirinya akan menciptakan pembelahan politik yang tidak membingungkan
masyarakat karena setiap langkah-langkah partai akan mudah diterka hanya dengan
mengacu pada Ideologinya. Pembelahan tersebut yang kemudian dikenal sebagai
penguasa dan oposisi yang masing-masing memiliki fungsi melaksanakan
pemerintahan Negara dan satunya sebagai penyeimbang (check and balance).
Seperti
contoh di Inggris, ketika Partai Konservatif berkuasa, maka Partai Buruh akan
menjalankan fungsinya sebagai oposisi, dan sebaliknya. Mekanisme ini sudah berjalan puluhan tahun
dengan suatu paket yang normal dan berjalan dengan baik. Begitupun di Amerika
yang mana partai Demokrat dan partai Republik berbagi peran antara penguasa dan
oposisi.
Sebagaimana
awam saya, secara amatir berpikir jika adanya kompetisi antara Jokowi dan
Prabowo tidak lain adalah karena adanya prinsip yang berbeda, atau mungkin
sampai pada Ideologi yang bertentangan juga. Terlepas mengenai prinsip atau
Ideologi siapa yang paling benar, adanya hal itu merupakan syarat mutlak bagi
adanya kompetisi politik. Hemat saya, jika bukan perbedaan prinsip atau
Ideologi yang berbeda, lalu alasan apa lagi yang lebih masuk akal hingga pantas
untuk mengorbankan begitu parahnya pembelahan yang terjadi di masyarkat?
Tidak ada komentar
Posting Komentar
Nama :
Usia :
Pekerjaan :
Lokasi :
Komentar :