Jumat, 25 Oktober 2019

Politik: Etika & Kepentingan

Pilpres 2024 darurat kepercayaan: Berpotensi banyak memunculkan tindakan golput; memilih untuk tidak memilih. Kenapa? Karena orang golpu... thumbnail 1 summary

Pilpres 2024 darurat kepercayaan: Berpotensi banyak memunculkan tindakan golput; memilih untuk tidak memilih.
Kenapa? Karena orang golput terlahir dari para pemilih yang terkhianati.
.
.
Saya berkata, “begitu nyata kita melihat redupnya etika politik, dan terlalu jelas kita mencium adanya kepentingan politik.”
Mereka menjawab, “tak ada yang abadi dalam politik; lawan dapat jadi kawan, kawan dapat jadi lawan.”
.
Ok Fine.
.
.
Mari kita bahas.
Sebelumnya mari kita mulai pembahasan mengenai partisipasi pemilih baru, yang notabene adalah milenial, pada pilpres tahun ini; 2019. Hal ini menarik dikaji karena sepanjang sepak terjang pemilihan presiden pasca reformasi, baru di tahun ini dikotomi antara masing-masing pasangan calon begitu terbelah. Fakta yang tidak dapat dipungkiri adalah adanya tindak kampanye negatif dari masing-masing pendukung, yang kemudian berlanjut menjadi pertikaian, baik pada dunia nyata ataupun dunia maya. Secara sederhana kita bisa berasumsi jika peran media sosial juga menjadi faktor adanya pertikaian yang berkepanjangan. Di sisi lain, para elite politik juga terus memunculkan narasi-narasi yang ‘menyerang’ paslon satu dengan lainnya, yang secara singkat akhirnya menanam stigma di masing-masing pendukung jika kemenangan pada kompetisi pilpres adalah segalanya, bak perang atau penentu hidup-mati Negara.
Penguatan asumsi tersebut dapat dilihat dari adanya peristiwa aksi kampanye yang memadati jalanan berkali-kali, konflik horizontal yang tak jarang memunculkan tindak diskriminasi atau ancamanan, dan terakhir adalah pertumpahan darah yang terjadi di depan Bawaslu untuk mengguggat putusan KPU yang berakhir dengan adanya korban meninggal (6 orang) dan luka-luka (kurang lebih 200 orang).

Namun, belum genap satu bulan pasca putusan MK yang menetapkan Jokowi sebagai presiden (27/06/2019), muncul satu ‘fenomena unik’ yaitu adanya pertemuan antara kedua kandidat Presiden tersebut di MRT (13/06/2019). Padhal masih terngiang di telinga kita bagaimana dulu pada masa kampanye Prabowo dinarasikan oleh kubu Jokowi sebagai pelanggar HAM berat, berdarah Orde Baru, dekat dengan organisasi radikal, dan dipastikan berbahaya jika memimpin Indonesia. Bahkan Jokowi pernah mengatakan secara implisit jika Prabowo bermental pesimis karena sering mengatakan Indonesia akan bubar, dan juga Jokowi pernah mengatakan jika Prabowo adalah penguasa tanah Negara. Begitupun pada kubu Prabowo yang dulu menarasikan jika Jokowi merupakan antek Cina atau PKI, tidak pro-Islam, pemimpin yang planga-plongo, kubunya disebut ‘partai setan’, juga dinilai otoriter dalam setiap kebijakan yang dibuat. Bahkan Prabowo pernah mengatakan secara implisit jika kabinet Jokowi (periode pertama) ‘tukang ngutang’, dan juga hasil KPU atas kemenangan Jokowi adalah curang. Lalu kemudian, lucunya, Prabowo menjabat sebagai Menteri Pertahanan mengantongi anggaran paling besar mencapai Rp 131,2 triliun. Seakan tak pernah terjadi apa-apa, keduanya secara kompak mencoba untuk berkelompok. Tak hanya Prabowo, seluruh partai pendukungnya (kecuali PKS) juga ikut merapatkan barisan ke koalisi Jokowi. Waw!
Jika pada ujung-ujungnya potong roti, kenapa di awal harus membelah masyarakat?
.
.
Padangan
Kembali pada paragraf awal, milenial merupakan merupakan generasi yang pada dasarnya tidak terlalu tertarik dengan politik, dan di lain sisi, banyak juga milenial yang memilih golput dengan alasan idealis tertentu.
Dengan banyaknya fakta politik yang di luar harapan seperti saat ini, sepertinya akan berdampak dengan semakin yakinnya mereka memilih untuk tetap acuh dan golput.
Bayangkan jika nanti, pada pilpres tahun 2024, mereka yang sekarang ‘satu atap’ kembali terpecah dan kembali mengajak masyarakat untuk berkubu. Kembali membuat narasi bla… bla… bla… dengan harapan masyarakat dapat berpihak.
Bayangkan ketika sesama koaliasi kemudian pecah karena berebut tokoh untuk diusungkan menjadi Capres. Bayangkan ketika partai yang pertama kali berpindah haluan tidak mendapat jatah kabinet, lalu kemudian menyindir partai yang justru dulu ia khianati, yang notabene partai itu malah mendapat jatah kabinet. Bayangkan ketika dua partai yang sebelumnya saling tuding melakukan kecurangan, justru kini berjabat tangan.
Yah, begitu faktanya.

Menurut Kepala Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, Prof. Dr. Sudjito, demokrasi yang saat ini dibangun dalam dunia perpolitikan adalah demokrasi yang bebas nilai yang menyebabkan perilaku politisi dan pejabat Negara jauh dari etika politik. Makna dan esensi demokrasi direduksi sebagai merebut kekuasaan. Kedaulatan tidak lagi di tangan rakyat tetapi di tangan penguasa dan lembaga politik. Lembaga politik seperti partai politik bukan lagi merepresentasikan kepentingan rakyat tetapi merepresentasikan kepentingan partai dan elite partai, yang terjadi elite partai melanggengkan kekuasaan dengan menggunakan segala cara.

Etika politik merupakan prinsip moral dalam setiap tindakan atau perilaku dalam berpolitik. Etika politik tidak mungkin didapat beriringan dengan adanya kepentingan politik, yang mana keduanya memiliki kutub yang saling berlawanan.
Mengacu pada muatan etika yang memilah antara baik-buruk, maka pada setiap golongan tidak dapat dihindarkan dengan adanya perbedaan dalam memandang sesuatu persoalan. Hal ini dikarenakan perspektif seseorang dipengaruhi oleh Ideologi yang dianutnya. Sebagaimana halnya dalam kanca perpolitikan, setiap partai memiliki Ideologi sendiri-sendiri yang mana juga akan mencipta perbedaan dalam menentukan sikap satu dengan lainnya. Ketidakpastian dalam menentukan sikap secara sederhana dapat dinilai jika golongan tersebut tidak memiliki dasar Ideologi yang kuat.

Pentingnya setiap partai memiliki etika politik, dikarenakan agar dalam setiap tindakan dan/atau perilakunya selalu berdasarkan Ideologinya masing-masing. Hal ini yang secara sendirinya akan menciptakan pembelahan politik yang tidak membingungkan masyarakat karena setiap langkah-langkah partai akan mudah diterka hanya dengan mengacu pada Ideologinya. Pembelahan tersebut yang kemudian dikenal sebagai penguasa dan oposisi yang masing-masing memiliki fungsi melaksanakan pemerintahan Negara dan satunya sebagai penyeimbang (check and balance).
Seperti contoh di Inggris, ketika Partai Konservatif berkuasa, maka Partai Buruh akan menjalankan fungsinya sebagai oposisi, dan sebaliknya.  Mekanisme ini sudah berjalan puluhan tahun dengan suatu paket yang normal dan berjalan dengan baik. Begitupun di Amerika yang mana partai Demokrat dan partai Republik berbagi peran antara penguasa dan oposisi.

Sebagaimana awam saya, secara amatir berpikir jika adanya kompetisi antara Jokowi dan Prabowo tidak lain adalah karena adanya prinsip yang berbeda, atau mungkin sampai pada Ideologi yang bertentangan juga. Terlepas mengenai prinsip atau Ideologi siapa yang paling benar, adanya hal itu merupakan syarat mutlak bagi adanya kompetisi politik. Hemat saya, jika bukan perbedaan prinsip atau Ideologi yang berbeda, lalu alasan apa lagi yang lebih masuk akal hingga pantas untuk mengorbankan begitu parahnya pembelahan yang terjadi di masyarkat?

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Nama :
Usia :
Pekerjaan :
Lokasi :
Komentar :